Pertanyaan ini muncul seiring dengan jalan di tempatnya usaha koperasi di Indonesia. Mengapa bisa seperti ini? Banyak faktor yang mendasari mandeknya usaha koperasi di negeri ini. Masalah yang paling mendasar dalam setap unit ekonomi, termasuk koperasi, adalah dana atau modal. Terbatasnya dana menjadi alasan tidak sedikitnya koperasi yang jalan di tempat hingga akhirnya tutup usaha. Kekurangan dana ini bisa disebabkan karena berbagai alasan, misalnya tingkat suku bunga bank yang terlampau tinggi membuat koperasi sulit untuk bersaing dengan unit usaha lain.
Tingginya suku bunga bank membuat koperasi sulit berkembang. Dengan suku bunga yang tinggi, margin keuntungan menjadi sangat tipis, bahkan defisit.
Menurut Kepala Dinas Koperasi Perindustrian dan perdagangan (Diskoperindag) Kota Bandung Nana Supriatna, koperasi sering kali kesulitan saat hendak menambah modal dari bank. Pasalnya, suku bunga yang ditawarkan perbankan sangat tinggi, antara 10-20% per tahun.
"Suku bunga bank sangat variatif. Misalnya saja bank kasih bunga 12% untuk pinjaman koperasi, sementara koperasi itu melakukan usaha dan mendapat keuntungan 8%. Meski untung, tetap saja koperasi defisit 4%," jelas Nana kepada wartawan di Lapangan Tegallega Bandung, Senin (25/7/2011).
Padahal, kata dia, suku bunga di negara lain terhitung rendah, yakni di bawah 6% per tahun. Untuk pinjaman modal seperti Kredit usaha rakyat (KUR) pun, lanjutnya, hanya sekitar 6%. Karena itu, Nana mempertanyakan tingginya suku bunga yang diterapkan perbankan untuk koperasi.
"Kalau suku bunga bank tinggi, ya jadi sama saja dengan rentenir. Rentenir kan bunganya lebih dari 20%. Dengan suku bunga yang tinggi, kita seperti disuruh perang, tapi nggak bawa peluru, ya pasti kalah," kata dia.
Selain itu, Nana menyoroti fungsi koperasi selama ini yang lebih banyak bergerak pada sektor simpan pinjam. Padahal, kata dia, koperasi di samping harus bermanfaat, juga harus menguntungkan. Namun dia mengakui sesuai UU, koperasi memang tidak dituntut profit, tapi menonjolkan benefit.
"Dari sekitar 2.434 koperasi di Bandung, lebih dari 97% bergerak di koperasi simpan pinjam, tidak ada di koperasi produksi. Memang mereka memberi manfaat, tapi kan koperasi harus untung juga," jelas Nana. sumber
Menurut Kepala Dinas Koperasi Perindustrian dan perdagangan (Diskoperindag) Kota Bandung Nana Supriatna, koperasi sering kali kesulitan saat hendak menambah modal dari bank. Pasalnya, suku bunga yang ditawarkan perbankan sangat tinggi, antara 10-20% per tahun.
"Suku bunga bank sangat variatif. Misalnya saja bank kasih bunga 12% untuk pinjaman koperasi, sementara koperasi itu melakukan usaha dan mendapat keuntungan 8%. Meski untung, tetap saja koperasi defisit 4%," jelas Nana kepada wartawan di Lapangan Tegallega Bandung, Senin (25/7/2011).
Padahal, kata dia, suku bunga di negara lain terhitung rendah, yakni di bawah 6% per tahun. Untuk pinjaman modal seperti Kredit usaha rakyat (KUR) pun, lanjutnya, hanya sekitar 6%. Karena itu, Nana mempertanyakan tingginya suku bunga yang diterapkan perbankan untuk koperasi.
"Kalau suku bunga bank tinggi, ya jadi sama saja dengan rentenir. Rentenir kan bunganya lebih dari 20%. Dengan suku bunga yang tinggi, kita seperti disuruh perang, tapi nggak bawa peluru, ya pasti kalah," kata dia.
Selain itu, Nana menyoroti fungsi koperasi selama ini yang lebih banyak bergerak pada sektor simpan pinjam. Padahal, kata dia, koperasi di samping harus bermanfaat, juga harus menguntungkan. Namun dia mengakui sesuai UU, koperasi memang tidak dituntut profit, tapi menonjolkan benefit.
"Dari sekitar 2.434 koperasi di Bandung, lebih dari 97% bergerak di koperasi simpan pinjam, tidak ada di koperasi produksi. Memang mereka memberi manfaat, tapi kan koperasi harus untung juga," jelas Nana. sumber
Selain masalah dana, kesadaran masyarakat akan keberadaan koperasi juga berperan dalam mandeknya usaha koperasi. Selama ini masyarakat masih menganggap bahwa koperasi adalah unit ekonomi kelas dua. Padahal koperasi banyak sekali manfaatnya untuk mereka. Apabila masyarakatnya sendiri sudah tidak peduli akan kelangsungan hidup koperasi, maka siapa lagi yang akan peduli?
Kurangnya tenaga profesional yang mampu menjalankan koperasi dengan baik juga menjadi hambatan besar dalam perkembangan koperasi. Dengan keadaan seperti ini, manajemen koperasi jadi tidak terkelola dengan baik. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sumber daya manusia yang kompeten dalam menjalankan koperasi. Pengelolaan koperasi jadi kurang efektif.
Semangat koperasi adalah semangat gotong royong. Jadi, bila koperasi dianggap kecil, tidak berperan, dan merupakan kumpulan serba lemah, itu terjadi karena adanya pola pikir yang menciptakan demikian. Singkatnya, Koperasi adalah untuk yang kecil-kecil, sementara yang menengah bahkan besar, untuk kalangan swasta dan BUMN. Di sinilah terjadinya penciptaan paradigma yang salah. Hal ini mungkin terjadi akibat gerakan Koperasi terlalu sarat berbagai embel-embel, sehingga ia seperti orang kerdil yang menggendong sekarung beras di pundaknya. Definisi yang melekat jadi memberatkan, yakni organisasi sosial yang berbisnis atau lembaga ekonomi yang mengemban fungsi sosial. Berbagai istilah apa pun yang melekat, sama saja, semua memberatkan gerakan Koperasi dalam menjalankan visi dan misi bisnisnya. Mengapa tidak disebut badan usaha misalnya, sama dengan pelaku ekonomi-bisnis lainnya, yakni kalangan swasta dan BUMN, sehingga ketiganya memiliki kedudukan dan potensi sejajar. Padahal, persaingan yang terjadi di lapangan demikian ketat, tak hanya sekadar pembelian embel-embel. Hanya kompetisi ketat semacam itulah yang membuat mereka bisa menjadi pengusaha besar yang tangguh dan profesional.
Para pemain ini akan disaring secara alami, mana yang efisien dalam menjalankan bisnis dan mereka yang akan tetap eksis. Koperasi yang selama ini diidentikkan dengan hal-hal yang kecil, pinggiran dan akhirnya menyebabkan fungsinya tidak berjalan optimal. Memang pertumbuhan Koperasi cukup fantastis, di mana di akhir tahun 1999 hanya berjumlah 52.000-an, maka di akhir tahun 2000 sudah mencapai hampir 90.000-an . Namun, dari jumlah yang demikian besar itu, kontribusinya bagi pertumbuhan mesin ekonomi belum terlalu signifikan. Koperasi masih cenderung menempati ekonomi pinggiran (pemasok dan produksi), lebih dari itu, sudah dikuasai swasta dan BUMN. Karena itu, tidak aneh bila kontribusi Koperasi terhadap GDP (gross domestic product) baru sekitar satu sampai dua persen, itu adalah akibat frame of mind yang salah.
Di Indonesia, beberapa Koperasi sebenarnya sudah bisa dikatakan memiliki unit usaha besar dan beragam serta tumbuh menjadi raksasa bisnis berskala besar. Beberapa Koperasi telah tumbuh menjadi konglomerat ekonomi Indonesia, yang tentunya tidak kalah jika dibandingkan dengan perusahaan swasta atau BUMN yang sudah menggurita, namun kini banyak yang sakit. Omzet mereka mencapai milyaran rupiah setiap bulan. Konglomerat yang dimaksud di sini memiliki pengertian: Koperasi yang bersangkutan sudah merambah dan menangani berbagai bidang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak dan merangsek ke berbagai bidang usaha-bisnis komersial.
Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (KUMKM) Jabar Wawan Hernawanmengatakan, lambatnya pertumbuhan koperasi di Indonesia akibat pembatasan bisnis koperasi. Koperasi tidak diperkenankan menjua lkomoditas publik seperti beras, gula, pupuk, dan lainnya. Padahal, bisnis pada sektor tersebut mampu mendongkrak roda bisnis koperasi.
“Seharusnya koperasi diberi kesempatan mengelola bisnis yang berhubungan dengan rakyat seperti sembako,pupuk,bibit, dan lainnya. Bukan sebaliknya dikuasai perorangan,” ujar Wawan di Kota Bandung, kemarin. Menurut dia, kegagalan koperasi tak lepas dari keseriusan pemerintah pusat mengembangkan koperasi, baik regulasi maupun pendanaan. “Kadang antara kebijakan pusat dan daerah tumpang tindih,termasuk kebijakan memberikan dana bagi koperasi.
Itu kurang baik bagi pertumbuhan koperasi,” jelasnya. Saat ini Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (KUKM) mulai menyusun master plan untuk menggenjot bisnis koperasi di Indonesia. Menurut Sekretaris Kementerian KUKM Guritno Kusumo,dalam 3-4 bulan ke depan master plan tersebut diharapkan selesai dan menghasilkan solusi bagi perkembangan koperasi di Indonesia.
“Solusinya bisa berupa pembekuan atau mengaktifkan kembali koperasi yang sudah mati.Tapi, kita akan lihat kasus per kasus berdasarkan masalah yang dihadapi koperasi bersangkutan. Jangan sampai koperasi yang punya utang besar dibekukan,”beber Guritno. Sampai 2011, koperasi di Indonesia mencapai 177.912 unit dengan jumlah terbanyak ada di Jabar,Jatim,dan Jateng.
Dari jumlah tersebut, 27% koperasi dinyatakan tidak aktif. Sementara untuk menyehatkan koperasi, Kementerian KUKM telah menyiapkan dana sebesar Rp700 miliar dari total anggaran Rp1 triliun pada tahun ini.
Apabila hal-hal tersebut di atas dapat diperbaiki, maka diharapkan unit usaha koperasi akan kembali bergairah dan kembali berkembang pesat. Tentu saja perkembangan ini tidak hanya kuantitasnya saja, tetapi juga kualitasnya. MAJU TERUS KOPERASI INDONESIA!!
sumber lain:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar